Kamis, 01 Juli 2010

BAHAYA PENGGUNAAN SUFOR

beragai bahaya ttg penggunaan sufor di bawah 2 tahun
1. sufor dan angka kematian bayi
Temuan para peneliti dari Institut Pertanian Bogor tentang adanya kontaminasi pada produk susu formula dan makanan bayi membuat banyak kalangan, terutama ibu-ibu, panik. Seperti dilansir di berbagai media massa beberapa hari ini, para peneliti tersebut menemukan 22,73 persen susu formula (dari 22 sampel) dan 40 persen makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan pada April hingga Juni 2006 telah terkontaminasi Enterobacter sakazakii.Kejadian ini kembali mengingatkan kita akan salah satu hak bayi yang selama ini sering dilupakan oleh para ibu, yakni hak untuk memperoleh air susu ibu yang sering dengan mudahnya digeser oleh susu formula. Betapa tidak, data menyebutkan hanya 14 persen bayi di Indonesia yang disusui secara eksklusif oleh ibunya hingga usia 4 bulan. Pemasaran yang agresif dari produsen susu pengganti ASI merupakan salah satu faktor penghambat pemberian ASI di Indonesia. Pemberian susu formula kepada bayi yang semestinya mendapatkan ASI eksklusif menjadi gaya hidup saat ini. Berdasarkan survei pada 1999, bayi di Indonesia rata-rata memperoleh ASI eksklusif 1,7 bulan.Survei Demografi Kesehatan Indonesia pada 1997 dan 2002 menunjukkan pemberian ASI kepada bayi satu jam setelah kelahiran menurun dari 8 persen menjadi 3,7 persen. Pemberian ASI eksklusif selama enam bulan menurun dari 42,2 persen menjadi 39,5 persen, sedangkan penggunaan susu formula meningkat tiga kali lipat dari 10,8 persen menjadi 32,5 persen.UNICEF menyatakan 30 ribu kematian bayi di Indonesia dan 10 juta kematian anak balita di dunia tiap tahun bisa dicegah melalui pemberian ASI secara eksklusif selama enam bulan sejak tanggal kelahirannya tanpa harus memberikan makanan serta minuman tambahan kepada bayi.UNICEF menyebutkan bukti ilmiah yang dikeluarkan oleh jurnal Paediatrics pada 2006. Terungkap data bahwa bayi yang diberi susu formula memiliki kemungkinan meninggal dunia pada bulan pertama kelahirannya. Dan peluang itu 25 kali lebih tinggi daripada bayi yang disusui oleh ibunya secara eksklusif. Banyaknya kasus kurang gizi pada anak-anak berusia di bawah 2 tahun yang sempat melanda beberapa wilayah Indonesia dapat diminimalisasi melalui pemberian ASI secara eksklusif. Karena itu, sudah sewajarnya ASI eksklusif dijadikan prioritas program di negara berkembang ini.UNICEF menyebutkan bahwa ketidaktahuan ibu tentang pentingnya ASI, cara menyusui dengan benar, serta pemasaran yang dilancarkan secara agresif oleh para produsen susu formula merupakan faktor penghambat terbentuknya kesadaran orang tua dalam memberikan ASI eksklusif.Berbagai penelitian pun melaporkan, bayi yang diberi susu formula terancam mengalami obesitas. Kebanyakan susu formula berbasis susu sapi yang mengandung protein jauh lebih banyak daripada protein manusia. Kita tahu bahwa hewan cenderung lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan dengan manusia. Tidak mengherankan jika ada sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa bayi yang mendapat ASI tidak segemuk bayi yang mendapat susu formula. Pertumbuhannya lebih bagus dan jarang sakit. Tidak sedikit bayi terserang diare akibat susu formula karena gula susu sapi (laktosa) pada beberapa bayi.Susu formula di pasar kini banyak mengandung tambahan nutrisi berupa asam lemak, seperti AA dan DHA, yang dipercaya dapat mencerdaskan anak. Namun, bayi tidak memiliki kemampuan mencerna semua zat gizi tersebut. Pada bayi, produksi enzim belum sempurna untuk dapat mencerna lemak, sedangkan dalam ASI sudah disiapkan enzim lipase yang membantu mencerna lemak dan enzim ini tidak terdapat pada susu formula atau susu hewan. Lemak yang ada pada ASI dapat dicerna maksimal oleh tubuh bayi dibanding lemak yang ada pada susu formula, sehingga tinja bayi susu formula lebih banyak mengandung makanan yang tidak dapat dicerna oleh tubuhnya.Komposisi yang terkandung dalam susu formula pun tidak pernah berubah, semuanya disamaratakan bagi setiap bayi dan pada tingkatan umur yang sama, walaupun kebutuhan bayi yang satu dengan yang lain amatlah berbeda. Kandungan lemak (AA dan DHA), karbohidrat, protein, vitamin, mineral, enzim, hormon, dan yang paling penting, zat antibodi, yang terkandung dalam ASI tidak akan didapatkan dalam susu formula mana pun.Penambahan AA, DHA, dan spingomielin pada susu formula sebenarnya tidak merupakan pertimbangan utama pemilihan susu yang terbaik. Penambahan zat yang diharapkan berpengaruh terhadap kecerdasan anak memang masih sangat kontroversial. Banyak penelitian masih bertolak belakang untuk menyikapi pendapat tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian AA dan DHA kepada penderita prematur tampak lebih bermanfaat. Sementara itu, pemberian kepada bayi cukup bulan (bukan prematur) tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna mempengaruhi kecerdasan. Dengan demikian, WHO hanya merekomendasikan pemberian AA dan DHA hanya kepada bayi prematur.Tindakan Menteri Kesehatan yang lebih cenderung menggulirkan program mengedrop makanan pendamping ASI, saat menghadapi melambungnya harga susu, dibanding menggulirkan gerakan kembali ke ASI adalah keprihatinan tersendiri. ASI adalah satu-satunya yang baik untuk bayi. Ibu sebaiknya memahami soal susu formula sebelum memberikannya kepada bayi. Sangat disayangkan bahwa tidak semua ibu bisa memberikan ASI eksklusif. Banyak faktor yang mempengaruhi sang ibu sehingga tidak bisa menyusui anaknya. Salah satunya adalah masalah psikologis ibu pasca-melahirkan.Kalau sudah begitu, jalan keluarnya adalah dengan memberikan susu formula. Padahal pemberian susu formula bagi bayi berumur di bawah 1 tahun tidak dianjurkan. Dokter menyarankan agar bayi diberi ASI sampai berusia 6 bulan, yang disebut dengan ASI eksklusif, dan tetap dilanjutkan sampai 2 tahun jika masih menyusui. Berkaitan dengan hal itu, para ibu perlu terus didorong agar memberikan ASI. Tempat kerja didorong agar memberikan kemudahan bagi para ibu untuk memberi ASI eksklusif. Penyediaan Pojok ASI (ruang yang nyaman dan privat bagi ibu untuk mengeluarkan ASI selama bekerja) adalah salah satu bentuk kepedulian dalam rangka menyelamatkan anak bangsa.URL Source: http://www.korantempo.com/korantempo/2008/03/06/Opini/krn,20080306,59.id.htSiti NuryatiMAHASISWA PASCASARJANA GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2. Sufor : mengurangi kecerdasan

Sejumlah 3.880 anak Australia diikuti sejak lahir untuk menentukan pola pemberian ASI dan perkembangan kognitif anak selanjutnya. Anak-anak yang mendapat ASI selama enam bulan atau lebih mendapat skor 8,2 poin lebih tinggi untuk anak perempuan dan 5,8 poin lebih tinggi untuk anak laki-laki dalam test kosa kata, dibandingkan dengan anak-anak yang tidak pernah diberi ASI. (Quinn PJ, O’Callagan M, Williams GM, Anderson MJ, Bo W. the effect of breastfeeding on child dev. At 5 years: acohort study. J Paediatr Child health 37:465-469, 2001)Anak usia sekolah (439) yang mempunyai berat badan lahir kurang dari 1.500 gr dan lahir di AS antara tahun 1991 dan 1993 diberikan berbagai test kecerdasan. Bayi-bayi dengan berat lahir sangat rendah yang tidak diberi ASIternyta mendapat skors yang lebih rendahdalam semua fungsi intelektual, kemampuan verbal, kemampuan verbal-spasial dan visual – motorik dibandingkan bayi-bayi yang diberi ASI. (Smith MM, Durkin M, Hinton VJ, Bellinger D, Kuhn L. influence of breastfeeding on cognitive outcomes at age 6-8 follow-up of very low-birth-weight infant. Am J Epidemiol 158: 1075-1082, 2003)Untuk menentukan pengaruh pemberian ASI eksklusif terhadap perkembangan kognitif dari bayi kecil untuk masa kehamilan, dilakukan penelitian yang berpusat di AS dan melibatkan 220 bayi, dengan menggunakan skala tumbuh kembang Bayi Bayley pada usia 13 bulan, dan test kecerdasan Wechler untuk usia pra skolah dan sekolah dasar untuk usia lima tahun. Para peneliti menyimpulkan bahwa pemberian ASI secara eksklusif (tanpa mkanan/minuman lain) kepada bayi kecil untuk masa kehamilan memberikan keuntungan yang signifikan bagi perkembangan kognitifnya tanpa mengorbankan pertumbuhannya. (Rao MR, Hediger ML, Levine RJ, Nancy AB, Vik T. effect of breastfeeding on cognitive development of infants born small for gestational age. Arch Pediar Adolesc 156:651-655, 2002)Keuntungan pemberian ASI memiliki potensi jangka panjang dalam kehidupan seseorang melalui pengaruhnya pada perkembangan kognitif dan pendidikan masa kanak-kanak, disimpulkan dari penelitian di inggris ini. Analisa regresi dipakai untuk menentukan bahwa pemberian ASI secara signifikan dan positif berhubungan dengan tingkat pendidikan yang dicapai pada usia 26 tahun, dan juga kemampuan kognitif pada usia 53 tahun. (Richards M, Hardy R, Wodsworth ME. Long-term affects of breast-feeding in a national cohort: educational attainment and midlife cognition fuction. Publ Health Nur 5 : 631-635, 2002)
3. Sufor : Meningkatkan Resiko Alergi

Anak-anak di Finlandia semakin lama diberi ASI akan smakin rendah menderita penyakit alergi , penyakit kulit (eczema), alergi makanan dan alergi saluran nafas. Saat mencapai 17 tahun, kejadian alergi saluran nafas pada remaja yang hanya diberi ASI sebentar waktu bayi adalah 65%, dan baaagi yang diberi ASI terlama saat bayi angkanya menjadi 42%. (Soarinen, UW, Kajosari M. Breastfeeding as a prophylactic against atopic disease. Prospective follow up study until 17 years old. Lancet 346:1065-1069, 1995)Sebuah penelitian prospektif Longitudinal yang melibatkan 1.246 bayi sehat di Arizona, AS bertujuan untuk menentukan adanya hubungan antara pemberian ASI dan kejadian kesulitan bernafas (mengi) saat ini. Hasilnya menunjukkan bahwa anak-anak tanpa atopy di usia enam tahun, yang tidak diberikan ASI waktu bayi, memiliki risiko tiga kali lebih besar untuk menderita kesulitan bernafas (mengi) saat sekarang. (Wright AL, Holberg CJ, Taussig LM, Martinez FD, Relationship of infant feeding to recurrent wheezing at age 6 years. Arch pediatr Adolesc Med 149:758-763, 1995)Penelitian lain terhadap bayi-bayi dengan ibu yang mempunyai riwayat alergi pernafasan atau asma dilakukan pemeriksaan untuk kasus-kasus penyakit alergi kulit dalam usia satu tahun pertamanya. Dilakukan peeriksaan terhadap 76 anak di belanda dengan penyakit alergi kulit dan 228 anank tanpa penyakit alergi kulit. Hasilnya menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif hanya 3 bulan pertama saja terbukti memiliki efek perlindungan terhadap penyakit kulit. (Kerkhof M, Koopman LP van Strien RT, et al. Risk Factorsfor atopic dermatitis in infants at high risk of allergy: the PIAMA study. Clin Exp Allergy 33: 1336-1341, 2003).
4.Bahaya Sufor : Meningkatkan Resiko Asma

Sebuah penelitian yang melibatkan 2.184 anak yang dilakukan oleh rumah sakit khusus anak di toronto menemukan bahwa resiko asma dan kesulitan bernafas sekitar 50% lebih tinggi jika bayi diberi susu formula dibandingkan dengan bayi yang diberikan ASI selama sembilan bulan atau lebih. (Dell S, To T. Breastfeeding and asthma in Young Children. Arch. Peiatr Adolsc Med 155:1261-1265, 200)Penelitian di Australia barat yang melakukan pengamatan pada 2.602 anak untuk mempelajari timbulnya asma dan kesulitan bernafas pada anank-anak diusia 6 tahun . tidak memberikan ASI meningkatkan resiko sebesar 40% dibandingkan dengan bayi yang diberikan ASI secara eksklusif selama enam bulan. Para penulis merekomendasikan pemberian ASI eksklusif minimal 4 bulan untuk menurunkan risiko asma. (Oddy WH, Peat JK, de Klerk NH. Maternal asthma, infant feeding, and the risk for asthma in childhood. J. Allergy Clinic Immunol. 110:65-67,2002)Para peneliti meninjau kembali 29 penelitian yang mengevaluasi efek perlindungan dari pemberian ASI terhadap asma dan penyakit alergi lain..sesudah memberikan kretaria yang ketat untuk penilaian, 15 penelitian masuk dalam pengkajian ini. Kelima belas penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ASI memberikan efek melindungi terhadap asma dan penyakit alergi lain (dan sebaliknya pemberian susu formula meningkatkan resiko tersebut). Mereka menyimpulkan bahwa semua penelitian memberikan bukti-bukti jelas dan konsisten bahwa memberikan ASI melindungi bayi dari asma dan penyakit alergi lain. (Oddy WH, Peat JK. Breastfeeding, Asthma, and Atopic Disease: An Epidimiological Review of the Literature. J.Hum Lact 19:250-261,2003) taken from : 14 Bahaya Susu Formula - daftar ringkasan penelitian (CARE)

Bahaya susu kleng terhadap usus bayi

MALANG, KOMPAS - Sekitar 55,19 persen dari 18.000 ibu melahirkan di Kota Malang pada tahun 2006 lebih memilih susu kaleng bagi bayinya sebagai pengganti air susu ibu atau ASI. Padahal susu kaleng justru bisa merusak fili-fili (rambut halus) usus bayi dan bisa mengganggu kesehatan bayi.”Yang terbaik bagi bayi adalah ASI. Seberapa mahalnya pun susu kaleng tidak bisa menggantikan ASI, karena ASI dilengkapi antibody yang berguna bagi psikologis dan fisik bayi. Sedangkan susu kaleng justru bisa merusak fili-fili usus bayi saat pertama kali ia lahir langsung mendapatkan susu kaleng,” ujar Kepala Bidang Kesehatan Keluarga dan Masyarakat Dinas Kesehatan Kota Malang, dr Asih Tri Rachmi, Minggu (2/12) di Malang.Jika fili-fili usus bayi rusak, menurut Asih akan menyebabkan feses bayi menjadi keras. Akibatnya bisa memicu ambeien atau pendarahan pada bayi, dan jika parah bisa menyebabkan keracunan dalam tubuh bayi karena sistem sekresinya terganggu. ”Kalau fili-fili ini sudah rusak, maka perlu waktu lebih kurang seminggu untuk kembali bisa beradaptasi dengan normal,” ujar Asih.Saat ini di Kota Malang menurut Asih masih sekitar 50 persen dari 18.000 ibu melahirkan (data 2006) yang menyusui bayinya sendiri. ”Keberhasilan memberikan ASI eksklusif selama enam bulan bukan hanya ada pada si ibu, namun juga lingkungan. Untuk itu perlu dukungan lingkungan agar pemberian ASI eksklusif bisa berhasil,” ujarnya.Salah satu upaya yang bisa dilakukan agar pemberian ASI eksklusif bisa berhasil adalah dengan inisiasi dini menyusui. Caranya adalah dengan menaruh bayi di dada sang ibu persis setelah dilahirkan. Saat itu bayi belum dibersihkan, namun hanya sekedar dikeringkan tubuhnya saja. ”Perlakuan alami seperti ini akan membuat bayi dengan refleknya bergerak mencari puting susu ibunya. Dan 100 persen bayi yang dicoba seperti ini bisa menyusu pada ibunya, rata-rata dalam kurun waktu maksimal 1 jam,” ujar Asih. Menurutnya, bayi usai dilahurkn bisa bertahan hingga 10 jam tanpa minum susu.Jika usai dilahirkan bayi dipisahkan dari ibunya, maka menurut penelitian hanya 20 persen dari bayi-bayi itu yang berhasil memberikan ASI eksklusif. ”Kalau kita lihat, kucing dan anjing usai melahirkan juga tidak dibantu perawat. Toh ana-anak mereka bisa menyusu,” ujar Asih menggambarkan bahwa sejak lahir bayi diberi insting untuk bertahan hidup.Pemberian ASI selama ini menjadi salah satu indikator keluarga sadar gizi. Dari 855 sampel di Kota Malang, baru 235 keluarga di antaranya yang termasuk sadar gizi. Cakupan pemberian ASI eksklusif di Kota Malang pun masih sekitar 55,19 persen dari target 80 persen.

4. meningkatnya risiko penyakit gangguan pernafasan akut.
Sejumlah sumber digunakan untuk meneliti hubungan antara pemberian ASI dan risiko anak dirawat inap di rumah sakit karena penyakit saluran pernafasan bawah pada bayi sehat yang lahir cukup umur yang punya akses pada fasilitas-fasilitas kesehatan yang memadai. Analisa data menyimpulkan bahwa di Negara-negara maju, bayi-bayi yang di beri susu formula mengalami penyakit saluran pernafasan tiga kali lebih parah dan memerlukan rawat inap di rumah sakit, dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI secara eksklusif selama enam bulan. (Bachrach VRG, Schwarz E, Bachrach LR, Beastfeeding and the risk of hospitalization for respiratory disease in infancy. Arch Pediatr Adolesc Med 157:237-243, 2003)Untuk menentukan factor resiko yang bisa diubah untuk infeksi saluran pernafasan bawah pada anak-anak kecil, penelitian yang berpusat di rumah sakit di India membandingkan 201 kasus dengan 311 kontrol. Kurangnya pemberian ASI adalah salah satu dari factor resiko kunci yang bisa diubah untuk infeksi saluran pernafasan bawah pada anak balita. (Broor S, Pandey RM, Ghosh M, Maltreyl RS, Lodha R, Singhal T, Kabra SK. Risk factors for severe acute lower respiratory tract infection in under-five children. Indian pediatr 38: 1361-1369, 2001)
5. Meningkatnya risiko infeksi dari susu formula tercemar.
Sebuah laporan dari kasus merebaknya wabah Enterobacter sakazakii di AS di sebuah pusat perawatan bayi baru lahir, mencatat kematian seorang bayi berusia 20 hari yang mengalami demam, tachycardia (denyut jantung lebih cepat), menurunnya aliran darah dan kejang pada usia 11 hari.
Kultur E. Sakazakii di temukan dari pemeriksaan cairan sumsum tulang belakang dan kumannya terlacak ada pada susu bubuk formula tercemar yang dipakai oleh unit perawatan intensif neonatal tersebut. (Weir E, Powdered infant formula and fatal infection with Enterobacter sakazakii. CMAJ 166, 2002)

Wabah necrotizing enterocolitis (NEC) di Belgia terlacak terdapat pada susu formula bayi yang tercemar Enterobacter sakazakii. Sejumlah 12 bayi menderita NEC selama wabah tersebut dan dua bayi (bayi kembar laki-laki) meninggal. (Van Acker J, de Sme F, Muyldermans G, Bougatef A, Naessens A, Lauwers S. Outbreak of necritizing enterocolitis associated with Enterobacter sakazakii in powdered infant formula. J Clin Microbiol 39: 293-297, 2001)
6. Meningkatnya risiko kanker pada anak-anak.
Tidak mendapatkan ASI diketahui meningkatkan risiko terkena kanker. Penelitian terbaru ini menemukan kerusakan genetik tingkat signifikan pada bayi berusia 9 sampai 12 bulan yang tidak diberi ASI.
Para penulis berspekulasi bahwa hal ini mungkin berperan pada perkembangan kanker di masa kanak-kanak atau dimasa depannya. (Dundaroz R, Aydin HA, Ulucan H, Baltac V, Denli M, Gokcay E. Preliminaru study on DNA in non-breastfed infants. Ped Internal 44: 127-130, 2002)

Penelitian kanker masa kanak-kanak inggris meneliti 3.500 kasus kanker pada masa kanak-kanak dan hubungannya dengan pemberian ASI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada penurunan kecil pada kasus leukimia dan segala jenis kanker, apabila bayi ”pernah diberi ASI”. (UK Childhood Cancer Investigators. Breastfeeding and childhood cancer. Br J Cance 85: 1685-1694,2001)

Study kasus terkontrol di Uni Emirat Arab meneliti 117 kasus leukemia lymfosit akut dan 117 anggota kelompok control. Mereka menemukan bahwa masa pemberian ASI pada bayi yang menderita leukemia lebih pendek secara signifikan daripada bayi yang berada pada kelompok control. Mereka menyimpulkan bahwa masa pemberian ASI selama enam bulan atau lebih mungkin melindungi anak dari leukemia akut dan kanker kelenjar getah bening (limfoma) di masa kanak-kanak. (Bener A, Denic S, Galadari S. Longer Breast-feeding and protection against childhood leukaemia and lympomas. Eur J Cancer 37:238, 2001)
7. Meningkatnya risiko penyakit menahun.
Satu penelitian peninjauan kembali terhadap praktik pemberian makanan pada bayi di kaitkan dengan penyakit menahun pada anak menunjukan adanya peningkatan risiko penyakit diabetes tipe I,
penyakit celiac (usus besar), beberapa kanker di masa kanak-kanak dan penyakit infeksi usus besar lainnya bagi anak-anak yang diberi makanan formula. *Davis MK. Breatfeeding and chronic desease and adolescence. Pediat Clin Nort Amer 48:125-141, 2001)

Penyakit celiac kemungkinan besar terjadi dipicu oleh reaksi auto imun ketika seorang bayi dipaparkan dengan makanan yang mengandung protein gluten. Untuk meniliti pengaruh pemberian ASI pada reaksi ini, Ivarsson dan tim penelitinya meneliti pola pemberian ASI dari 627 anak penderita penyakit celiac dan 1.254 anak sehat, untuk melihat pengaruh pemberian ASI selama anak diperkenalkan dengan makanan yang mengandung gluten dengan terjadinya penyakit celiac.

Penurunan resiko terjadinya penyakit celiac sebesar 40% yang mengagumkan ditemukan pada usia dua tahun atau kurang, di antara anak-anak yang mendapat ASI pada waktu diperkenalkan pada makanan yang mengandung gluten. Para penulis mencatat bahwa pengaruhnya bahkan lebih baik terlihat lagi pada bayi yang terus diberi ASI sesudah makanan yang mengandung gluten diperkenalkan.
(Ivarsson A, et al. Breast-feeding may protect against celiac disease. Am J Clin Nutr 75:914021, 2002)
8. Meningkatnya resiko kencing manis (diabetes)
terlalu awal mengenalkan susu formula, makanan pada dan susu sapi adalah factor yang terbukti meningkatkan kejadian kencing manis (diabetes) tipe I di masa depannya. Dilakukan perbandingan antara anak-anak Swedia (517) dan Lithuania (286) berusia 0 – 15 Tahun yang didiagnosa terkena kencing manis (diabebetes) tipe I dengan kelompok control. Hasilnya menunjukan bahwa pemberian ASI secara eksklusif lebih dari lima bulan dan total waktu pemberian ASI selama lebih dari tujuh atau sembilan bulan dapat melindungi dari kencing manis (diabetes). (Sadauskaite-kuehne V, Ludvigsson J, Padaiga Z, Jasinskiene E, Samuel U. Longer breastfeedig is an independent protective factor against development of type 1 diabetes militus in childhood. Diabete metab res rev. 20:150-157,2004)

Untuk menentukan hubungan antara konsumsi susu sapi (susu formula berbahan dasar susu sapi) dan perkembangan reaksi antibody pada protein susu sapi, para peneliti Italia mengukur reaksi antibody dari 16 bayi yang diberi ASI dan 12 bayi yang diberi susu sapi pada usia di bawah empat bulan. Bayi yang diberi susu sapi mengalami peningkatan antibody beta-casein ketika dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI. Para peneliti menyimpulkan bahwa pemberian ASI selama empat bulan pertama mencegah produksi antibody dan bisa memiliki efek pencegah pada perkembangan kencing manis (diabetes) tipe 1. (Monetini L, Cavallo MG, Bizzani C, Marietti G, Curro V, Carvoni M, Pozzilli P. IMDIAB Group. Bovine beta-casein antibodies in breast-and bottle-fed infants : their relevance in type 1 diabetes. Hotmone metab res 34:455-459, 2002)

Pada penelitian kasus terkontrol, 42 pasien kencing manis tipe 2 asli Kanada dibandingkan dengan 92 anggota kelompok control. Factor-faktor risiko sebelum dan sesudah kelahiran dibandingkan. Pemberian ASI terbukti mengurangi risiko kencing manis (diabetes) tipe II. (young TK, et al. Flett B. Type 2 Diabetes mellitus in children : prenatal and early infancy risk factors among native Canadians. Arch Prdiatr adolesc. Med 156: 651-655, 2002)
source : http://selasi.net/index.php?option=com_content&view=category&id=19&Itemid=28

Tidak ada komentar:

Posting Komentar